Independensi atau kebebasan adalah mahkota yang selalu jadi idaman para ulama. Apalah artinya ilmu yang mendalam dan luas, kalau ternyata lidahnya kelu tidak bisa mengatakan kebenaran. Apalah arti belajar sejak masa kecil hingga tua, kalau penanya tidak bisa tajam membedah kemungkaran di depan mata.
Apalah arti sorban dan jubah panjang kalau kalau ujungnya diinjek sehingga malah tidak bisa berjalan sekehendak hati.
Karena itulah Said bin Al-Musayyib menolak ketika mau diangkat menjadi mufti oleh sang Khalifah, Abdul Malik bin Marwan. Padahal kalau pakai logika orang awam, apalagi logika para penghamba kekuasaan dan kemewahan, mestinya tawaran jabatan itu diterima saja, kan dengan demikian akselerasi dakwah bisa semakin cepat. Selain tentu bisa jadi peningkatan kesejahteraan diri.
Namun tidak mudah bagi sang Khalifah untuk menundukkan hati sang maestro ulama dari kalangan tabiin senior ini. Alih-alih menerima tawaran menjadi mufti khilafah, bahkan ajakan berbesanan dengan sang Kafilah ditolaknya mentah-mentah.
Habislah sudah kesabaran yang Khalifah. Apa sih maunya si ulama 'bandel' satu ini. Kok diajak duduk baik-baik malah menghindar, diajak musyawarah ogah, diajak meningkatkan 'ukhuwah', malah ditolak mentah-mentah.
Maka dikirimlah pengawal untuk menangkap Said bin Al-Musayyib dan menyiksanya dengan beragam cara. Khalifah mungkin berpikir, kalau diajak baik-baik tidak mau, mungkin pakai sedikit kekerasan, bisa menjatuhkan mental Said bin Al-Musayyib.
Ternyata makin ditekan bukannya makin melemah, justru semakin yakin saja untuk menjauh dan ogah direnggut kebebasannya oleh penguasa. Padahal Abdul Malik bin Marwan itu bukan orang kafir. Beliau itu seorang khalifah yang sah dan resmi, naik tahta bukan lewat money pilitik, atau mencurangi lawannya pada pemilihan.
Orang-orang zaman sekarang yang kurang paham makna independensi bagi ulama, pasti akan mengira Said bin Al-Musayyib ini tidak paham wa'yu siyasi, tidak mengerti realitas dakwah, terlalu idealis, hidup bukan di zamannya, terlalu banyak berteori, tidak berharakah dan tidak berbuat apa-apa, bisanya cuma ngomong doang, dan berbagai makian yang daftarnya tidak akan ada habisnya.
Tetapi bagi seorang Said bin Al-Musayyib yang jadi soko guru para mujtahid di level para tabi'in itu, makna kebebasan jauh di atas semua tawaran duniawi itu.
Ditolaknya jabatan mufti, karena dia menghindari rasa 'ewuh pekewuh' kalau yang melakukan kekeliruan itu justru diri sang Khaliah sendiri, atau setidaknya orang-orang dekat istana, pusat kekuasaan, keluarga atau jamaah dan kelompok pro khalifah.
Dengan menerima jabatan mufti, Said bin Al-Musayyib takut nanti lidahnya tidak bisa lagi tajam, tinta tulisannya menjadi rada buram, nada bicaranya jadi gelagapan, objektifitasnya tidak akan kena sasaran.
Kalau sudah demikian, lalu apalah artinya menjadi ulama?
Singa itu hanya akan ditakuti ketika masih hidup di tengah hutan. Manakala seekor singa sudah ditangkap, lalu hidup dari uluran tangan manusia dan makan dari hasil tepuk tangan penonton, maka singa itu sudah berubah menjadi 'singa sirkus'.
Memang sih singa itu masih bisa mengaum dan beratraksi, tetapi dia tidak bisa lagi berburu dan menjadi singa sungguhan. Dan yang pasti, singa itu sudah tidak lagi ditakuti hewan lainnya, bahkan oleh seekor kucing sekalipun. Karena singa itu berada di dalam kerangkeng.
Hmm ... singa yang telah kehilangan ke-singa-annya.
Ya, Allah, lahirkan kembali para ulama yang menjadi singa-singa-Mu yang pemberani. Berani mengatakan yang haq itu haq dan yang batil itu batil.
Allahumma arinal-haqqa haqqa warzuqnat-tiba'ah. Wa arinal batila batila, warzuqna ijtinabah. Amin . . .
Catatan Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,MA
sumber : www.ahmadsarwat.com
Comments
Post a Comment