Skip to main content

Huruf Al-Quran Nggak Gundul Lagi


Jika kamu membaca Al-Qur'an asli yang diterbitkan pertama kali, yang disebut mushaf utsmani, dijamin seratus persen bakal pusing tujuh keliling. Masalahnya, huruf-hurf pada mushaf itu nggak disertai titik dan tanda baca atau harakat.

 Kamu pasti akan kesulitan membedakan huruf ba yang memiliki satu titik dengan ta yang mempunyai dua titik. huruf sin dengan syin pun dijamin ketuker. Tidak hanya itu, mushaf itu juga nggak dibubuhi tanda fathah, kasrah, dan tanda lain, sehingga kamu akan kesulitan membaca vocal a,i, e, dan o.


  Singkatnya, mushaf Al-Qur'an itu gundul, dul dul...! Asli! Tetapi, berkat kesalahan (lagi-lagi kesalahan), kini huruf-huruf pada mushaf Al-Qur'an dibubuhi tanda baca serpeti fathah, kasrah, dhammah, dan tanda-tanda lainnya. Huruf-huruf Al-Qur'an pun nggak gundul lagi dan kita menjadi mudah membaca Al-Qur'an.
Untuk orang Arab, sih, nggak masalah. Mereka sudah terbiasa membaca huruf Arab gundul. Tapi, masa-masa selanjutnya, Islam tersebar ke luar Jazirah Arab. Itu berarti, Al-Qur'an dibaca juga oleh orang-orang yang nggak fasih berbahasa arab. Nah, mulailah muncul masalah. Orang-orang non-Arab mengalami kesulitan membaca Al-Qur'an. Bahkan, beberapa kali ditemukan orang Muslim non-Arab yang salah membaca Al-Quran.

Kalau keadaan ini dibiarkan, pastilah kesucian Al-Quran akan ternodai oleh berbagai cara baca yang salah. Gubernur Bashrah, Ziad bin Sumayyah, meminta seorang ahli bahasa bernama Abu Aswad Adduwali untuk membubuhkan tanda pada Al-Qur'an untuk mempermudah membaca Al-Qur'an sekaligus menghindari kesalahan.

Awalnya, Abu Aswad menolak tugas ini. Dia takut usaha itu justru akan terjebak bid'ah--melakukan sesuatu yang nggak dicontohkan oleh Nabi, Namun, Ziad binZumayyah terus mendesak agar Abu Aswad menerima tugas suci ini, bahkan dia sempat memerintahkan pengawalnya untuk menghadang perjalanan AbuAswad.
Akhirnya, Abu Aswad menerima tugas itu bukan karena diintimidasi gubernur, melainkan karena dia melihat sendiri orang muslim yang salah membaca Al-Qur'an. Dia pun sadar, jika nggak melakukan tugas dari gubernur, berarti dia membiarkan kesalahan membaca Al-Qur'an terus terjadi.
Abu Aswad pun menghadap gubernur dan menyatakan kesediannya untuk menerima job yang dulu ia tawarkan. Untuk melaksanakan tugas itu, dia meminta seorang penulis yang andal.
"Jangankan satu, tiga puluh akan saya kasih," begitu kata gubernur. Perkataan gubernur itu memang bukan cuma gertak sambal. Dia mengundang tiga puluh penulis hebat. Namun, Abu Aswad cuma memilih satu yang terbaik dari mereka.

Dengan bantuan penulis, Abu Aswad mulai melaksanakan tugas itu. Dia membacakan Al-Qur'an dan memberikan instruksi, "Jika kau melihat bibirku terbuka lebar waktu menyebut huruf (bersuara a), letakkanlah satu titik di atas huruf itu. Jika kau lihat bibirku agak terkatup (bersuara i), letakkanlah sebuah titik di bawah huruf itu. Jika kedua bibirku mencuat ke muka (bersuara u), letakkanlah titikdi tengah huruf tersebut. Demikianlah Abu Aswad melaksanakan ugasnya dengan cermat. Setiap selesai satu halaman, dia akan membaca hasil pekerjaan si penulis itu untuk memeriksa ulang.

 Usaha Abu Aswad ini lumayan membantu mempermudah Al-Qur'an. Orang nggak akan lagi kesulitan membaca a,i, u, e, atau o. Namun, orang masih kesulitan membedakan huruf ba dengan ta atau sin dengan syin sebab huruf-huruf Al-Qur'an itu masih belum disertai titik yang membedakn huruf. Seperti kamu tahu, huruf sin  dan syin cuma dibedakan dari jumlah titiknya.

Huruf ta dengan ya sama-sama punya dua titik. ta titiknya di atas. sedangkan ya di bawahnya. Nah, saat itu, huruf-huruf itu susah dibedakan karena titik-titik itu  nggak dicantumkan. Akibatnya, banyak orang yang kebingungan ketika menemukan kata nunsyizu dengan zai atau nunsyiru dengan ra karena ra dengan zai sama bentuknya, cuman dibedakan dengan titik.

Kata khalfaka juga sering ibaca khalaqaka sebab fa dengan qa bentuknya sama, cuma titik yang membedakannya. Untuk menghindari kesalahn itu, Gubernur Iraq Al-Hajjaj memanggil dua orang murid Abu Aswad Adduwali. Namanya Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya'mar. Dua orang itu ditugasi untuk memberikan tanda titik pada huruf-huruf Al-Qur'an yang sering tertukar.

Dua orang murid Adduwali itu melakukan tugasnya yaitu memberikan titik pada setiap huruf yang memang meiliki titik. Satu titik di atas huruf nun, dua titik di atas huruf ta, dan seterusnya. Tetapi, setelah selesai, Al-Qur'anmenjadi cukup membingungkan kaarena banyak titik, Abu Aswad juga menggunakan tanda titik untuk menandai harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Untuk membedakannya, digunakanlah warna tinta yang berbeda.

Pada perkembangan selanjutnya, harkat fathah, kasrah, dan dhammah diganti menjadi garis datar di atas untuk fathah, kasrah garis di bawah, dan dhammah dengan huruf wau yang kecil. Sistem itu  dipake hingga sekarang, termasuk Al-Qur'an yang sering kamu baca.

Begitulah ceritanya. Bisa dibayangkan seandainya waktu itu nggak ada kesalahan dan orang-orang asyik-asyik aja dengan Al-Qur'an yang gundul. Pastilah Al-Qur'an yang sampe ke kita hariini masih dalam keadaan gundul tanpa tanda baca. Wah, dijamin orang yang bisa baca Al-Qur'an pasti dikit banget sebab untuk membaca Arab gundul kita harus menguasai ilmu tata bahasa arab. Untuk baca Al-Qur'an nggak cukup belajar iqra di madrasah, kita harus mesantren enem taon!Wah, nggak kebayang! makanya, kita harus berterima kasih sekali lagi sama kesalahan. Sekarang, kamu yakin, kan, kalau kesalahn itu selalu membuka jalan baru untuk kemudahan.

Oleh : Irfan Amalee

Comments

Popular posts from this blog

Pesan M. Natsir Untuk Para Guru

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

CTRL + Z

saya akan mengutip sebuah kata yang dipake tagline di buku Change-nya Rheinald Kasali. Dia bilang, “Sejauh apa pun kamu sudah melangkah, berbaliklah!”