Skip to main content

Dia Anak Yang Paling Baik


Pujian bagi anak memiliki pengaruh besar bagi jiwanya. Pujian dapat menyentuh perasaannya dan membuatnya segera mengoreksi perbuatan dan perilakunya dengan perasaan lega dan serius. Itulah yang ditegaskan oleh Rasulullah saw. Beliau mengingatkan urgensi pujian bagi anak jika kita menginginkan anak-anak merespons dan melaksanakan kewajiban.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. yang berkata, "jika seseorang bermimpi pada masa Rasulillah saw., ia menceritakannya kepada Rasulullah saw. Saya pun berangan-angan bahwa saya bermimpi, kemudian akan saya ceritakan kepada Rasulullah saw. Saya adalah anak muda dan saya tidur di masjid pada masa Rasulullah saw. Maka, saya bermimpi bahwa malaikat membawa saya ke neraka. Di sana, terlihat ada lubang seperti lubang sumur. Ternyata, di dalamnya ada orang-orang yang saya kenal. Maka, saya mengucapkan, 'Aku berlindung kepada Allah dari neraka'. Lalu, aku menceritakan kepada Hafshah dan dia menceritakannya kepada Rasilullah saw. Maka, beliau bersabda, 'Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah jika dia shalat malam.' Setelah itu, saya tidak pernah tidur malam kecuali sebentar."

Demikianlah Rasulullah saw. Mendahulukan pujian, "sebaik-baik lelaki adalah Abdullah." Kemudian, beliau mengingatkan ke sesuatu yang terlalaikan dengan cara yang indah dan menarik hati, "Andai dia shalat malam." Demikianlah pujian dan sanjungan jika dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat, tidak berlebihan, dan bukan basa basi. Ia akan membuahkan hasil yang bermanfaat setiap saat.

Kemudian, di antara yang dikatakan Rasulullah saw. Kepada pemuda yang belajar bahasa Suryani pada hari perang Khandaq adalah "Bukankah dia adalah anak yang paling baik?". Artinya, pada saat itu, Rasulullah saw. Menyanjung pemuda tersebut.

Oleh karena itu, mari kita meneladani Rasulullah saw. Mari kita memuji anak-anak kita secara seimbang, yaitu pada waktu dan tempar yang tepat.

---M. RASYID DIMAS

Comments

Popular posts from this blog

Pesan M. Natsir Untuk Para Guru

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

CTRL + Z

saya akan mengutip sebuah kata yang dipake tagline di buku Change-nya Rheinald Kasali. Dia bilang, “Sejauh apa pun kamu sudah melangkah, berbaliklah!”

Huruf Al-Quran Nggak Gundul Lagi

Jika kamu membaca Al-Qur'an asli yang diterbitkan pertama kali, yang disebut mushaf utsmani, dijamin seratus persen bakal pusing tujuh keliling. Masalahnya, huruf-hurf pada mushaf itu nggak disertai titik dan tanda baca atau harakat.  Kamu pasti akan kesulitan membedakan huruf ba yang memiliki satu titik dengan ta yang mempunyai dua titik. huruf sin dengan syin pun dijamin ketuker . Tidak hanya itu, mushaf itu juga nggak dibubuhi tanda fathah, kasrah, dan tanda lain, sehingga kamu akan kesulitan membaca vocal a,i, e, dan o.