SUATU malam khalifah Umar dan sahabatnya, Ibnu Abbas, keluar rumah secara diam-diam guna melihat kondisi penduduk secara langsung. Mereka pun menyusuri
jalanan, masuk ke lorong sepanjang kota Madinah. Tiba-tiba terdengar suara orang menangis menyentuh telinga Umar. Ia menghentikan langkah sejenak dan mendengarkan suara itu dengan seksama. Ternyata suara itu bersumber dari bocah-bocah yang menangis meratap dengan suara memelas.
"Kira-kira mengapa mereka menangis? Di tengah malam seperti ini?" tanya Umar dalam hati. Disertai sahabatnya, khalifah melangkah menuju gubuk asal suara itu muncul, dan mengintip. Apakah yang mereka lihat? Seorang ibu tengah memasak sesuatu di atas tungku di kelilingi oleh anak-anaknya yang menangis kelaparan.
Si ibu mencoba menenangkan, "Tunggulah sayang! Masakan sudah hampir matang. Aku akan menyuapi kalian hingga kenyang." Umar —tanpa sepengetahuan wanita itu— menunggu dan menunggu apa yang akan terjadi hingga ia kehabisan kesabarannya. Lalu ia mendekati wanita itu dan membentaknya dengan keras, "Apa-apaan ini? Anak-anakmu hampir mati kelaparan dan kamu hinya masak, masak,
dan masak terus?" Wanita malang itu terperanjat dan menoleh kepada orang asing yang tiba-tiba mendatanginya. Kemudian ia menjawab lemas, "Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, anakku." "Mengapa? Apa yang ibu masak sejak dari tadi?"
"Hanya air dan batu."
"Mengapa?"
Tidak ada makanan lagi di rumah ini yang bisa kuberikan kepada anak-anak. Oleh karena itu aku berpura-pura memasak sesuatu dengan harapan mereka akan
tertidur karena capek menunggu terlalu lama," jawab si ibu lugu.
"Begitukah? Biarkan mereka tetap menunggu sampai kami kembali dan semoga mereka belum tertidur."
Umar dan Ibnu Abbas mempercepat langkah mereka ke rumah dan masuk ke gudang makanan. Umar mengambil satu kantong gandum dan sejumlah bumbu serta minyak secukupnya. Umar memberikan botol minyak tanah kepada Ibnu Abbas. Lalu ia berkata, "Lekaslah, wahai Ibnu Abbas! Kalau tidak nanti anak-anak itu keburu tertidur."
Mereka berjalan setengah berlari ke gubuk wanita miskin itu. Dahi Umar bersimbah peluh dan ia berjalan terbungkuk-bungkuk karena ia haru s mengangkat sekarung gandum dan minyak sayuran di atas punggungnya. Ibnu Abbas menawarkan untuk bergantian memanggul, tetapi Umar menolak, "Saudaraku, maukah engkau memikul beban dosaku di akhirat?" katanya.
Mereka sampai ke gubuk yang dituju. Setelah meletakkan barang bawaannya, Umar menuang sedikit minyak tanah ke atas tungku dan sambil merundukkan badan, ia meniup apinya. Asap tungku mengepul dari sela-sela jenggotnya yang lebat. Dalam beberapa detik terlihat Umar sibuk memasak, sedangkan si wanita bercengkerama
dengan anak-anak. Masakan selesai, Umar sendiri yang menghidangkan makanan dan menyuapi anak-anak hingga kenyang.
Begitu selesai, mereka mulai tersenyum dan bercanda ria. Umar tersenyum dan turut bermain bersama mereka. Akhirnya anak-anak pun tertidur, Umar menoleh
kepada si ibu dan bertanya, "Apakah engkau tidak mempunyai siapa-siapa lagi?"
"Ya, benar, Nak," jawab wanita dengan wajah yang tampak sedih, lalu melanjutkan, "Ayah dari anak-anak yatim ini meninggal beberapa bulan yang lalu dan tidak
mewariskan apa pun untuk hidup mereka. Semua yang kumiliki sekarang sudah habis. Aku tidak bisa lagi keluar untuk bekerja karena anak-anak tidak akan mau aku tinggal barang sebentar saja. Aku juga tidak mengenal seorang pun yang bisa kumintai tolong agar menyampaikan keadaanku kepada khalifah Umar."
"Tidak apa-apa, ibu. Aku sendiri yang akan menyampaikan keadaanmu kepada khalifah Umar dan aku akan membujuknya untuk memberimu santunan. Ibu
akan mendapatkannya di antar ke rumah." Fajar menyingsing di ufuk timur dan khalifah Umar pulang rumah. []
—Hirak Har (Salasil)
Comments
Post a Comment