Apa yang terbersit di benak kita kalau membaca judul di atas? Belum lima menit mengucapkan ijab kabul, langsung istrinya dijatuhkan talak satu.
Pasti kita akan bilang, dasar laki-laki brengsek, tidak punya rasa tanggung-jawab, tidak tahu diri, kurang ajar, sejuta topan badai dan lainnya.
Tetapi bagaimana tanggapan kita kalau ternyata si mempelai laki-laki itu memang 'dipaksa' oleh pimpinan Kantor Urusan Agama (KUA) yang memimpin jalannya akad nikah untuk menajtuhkan talak yang belum genap lima menit?
Pertanyaannya, kenapa kok sampai si KUA itu memaksa mempelai laki-laki untuk menjatuhkan talak satu kepada istrinya?
Sebenarnya kata 'memaksa' disini memang agak kurang tepat, yang lebih tepat bahwa suami disodorkan selembar kertas yang harus dibaca saat itu juga dengan suara keras, bahkan disodorkan microphone segala. Ternyata isinya serem banget : "... maka jatuhlah talak satu kepada istri saya".
Ya, lembaran yang dibaca suami seusai ijab kabul itu tidak lain adalah shighat ta'lik. Intinya bahwa apabila suami bila meninggalkan istrinya sekian lama, atau tidak menafkahinya sekian lama, lalu istrinya tidak terima, dan mengadukan hal itu kepada Pengadilan Agama, dan Pengadilan Agama menerima pengaduannya, maka jatuhlah talak satu.
Mungkin niat awal yang bikin shighat ta'lik itu baik, sayangnya cara yang digunakannya itu bikin masalah baru. Bagaimana bukan masalah baru, lha wong belum apa-apa sudah bikin andai-andai. Seandainya begini dan begini, maka istri saya saya cerai!.
Ini jelas bukan solusi. Masak solusi masalah pernikahan harus lewat cerai?
Seharusnya dibuat perjanjian yang dibacakan di depan umum dan direkam pakai video. Yang jelas bukan shighat cerai walaupun pakai ta'lik. Perjanjian itu bisa saja berbunyi begini :
"Dengan ini saya sebagai suami, akan memberi nafkah tiap bulan kepada istri senilai sekian sekian. Saya tidak akan meninggalkan atau mentelantarkan istri saya bla bla bla. Kalau saya melanggar dan istri saya mengadukan kepada yang berwenang, maka saya bersedia di hukum sesuai ketentuan yang berlaku".
Nah, disini bedanya. Kalau dalam shighat ta'lik, hukumannya kok malah istrinya dicerai?
Yang rugi malah istrinya, yang bikin ulah si suami, begitu dihukum, kok malah istrinya yang dicerai? Kalau dipikir-pikir, si suami lah yang enak-enakan. Dia bisa bikin ulah, dan kalau istri tidak terima dan minta cerai, langsung jatuh cerai.
Dalam perceraian, biar bagaimana pun yang rugi pasti pihak istri, dan bukan pihak suami.
Jadi seharusnya hukumannya bukan talak satu, tetapi bisa macam-macam bentuknya, katakanlah dikenakan denda berat. Atau kalau mau yang gampang dan praktis, misalnya dicambuk sekian kali. Yang jelas bukan dipenjara, karena selain perlu kasih makan, penjara juga sudah penuh, bahkan nanti malah bergaul dengan para penjahat di dalam sel.
Jadi carilah bentuk hukuman yang initnya bisa bikin kapok si suami, asalkan bukan perceraian. Sebab perceraian itu bukan jalan keluar dari kemelut rumah tangga.
Lalu bagaimana bila shighat ta'lik itu sudah terlanjur dibaca? Apa bisa dicabut dan dikoreksi?
Shighat ta'liq adalah sebuah syarat di mana seandainya terjadi suatu kejadian, maka seorang suami akan menceraikan isterinya.
Shighat ini biasanya dibaca oleh suami segera setelah akad nikah selesai ditetapkan. Tetapi hukumnya tidak ada kaitannya dengan sah tidaknya akad nikah. Artinya, siapa saja boleh untuk mengucapkan shighat itu tetapi siapa pun boleh saja tidak mengucapkannya.
Adapun tujuan dari diucapkannya shighat ini barangkali awalnya ingin melindungi isteri dari kemungkinan dizhalimi oleh suaminya. Sayangnya, jalan keluar yang disediakan justru tidak memecahkan masalah, karena malah mengajak kepada perceraian. Seseorang sejak awal sudah dicanangkan bahwa bila pasangan suami isteri itu tidak ada kecocokan lagi, maka katupnya sudah disediakan, yaitu suami menceraikan isteri.
Seolah bila suami melakukan kesalahan atau kekurangan tertentu, maka jalan keluarnya adalah perceraian.
Meski pun sebenarnya kalau kita dalami isi dari shighat ta'lik itu juga tidak sederhana. Sebab perceraian yang dijadikan sebagai konsekuesi hukum tidak lantas dengan mudah jatuh begitu saja, kecuali lewat beberapa tahapan yang panjang.
Talak dengan Syarat
Shighat ta'liq pada dasarnya adalah talak lewat syarat. Apabila syarat terpenuhi, maka talak otomatis jatuh. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW:
”Orang-orang Islam itu terikat dengan syarat yang diajukannya (disepakatinya).”
Dari Ibnu Umar ra. bahwa seorang laki-laki telah mentalak isterinya bila isterinya keluar. Ibnu Umar berkata, ”Bila wanita itu keluar, maka dia sudah ditalak. Tapi bila tidak keluar, maka tidak terjadi apa-apa”. (HR Bukhari).
Namun bila seorang suami sudah terlanjur mengucapkan shighat ta'liq, entah karena tahu atau malah tidak tahu hukumnya, tiba-tiba dia mereka tidak setuju dengan isinya, boleh saja suatu waktu dia mencabut pernyataannya itu. Sebab shighat ta'liq tidak satu paket dengan akad nikah, tetapi terpisah dalam dua hal yang berlainan. Sehingga ketika seseorang mencabut ta'liqnya, maka status hukum akan nikahnya tidak terpengaruh.
Dalinya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Aisyah ra. berkata, ”Semua sumpah meski besar tetap bisa dibatalkan bila dia membayar kafarat, kecuali sumpah membebaskan budak dan talak.” (HR Ibnu Abdil Bar).
Di luar itu, ada pendapat yang berbeda yaitu pendapat kalangan Syi`ah Imamiyah dan Zahiriyah. Mereka tidak mengakui talak yang mu`allaq (bersyarat) seperti ini.
Sedangkan Ibnu Taymiyah mencoba memilah masalah talaq mu`allaq ini menjadi dua kemungkinan. Pertama, bila syarat (ta`liq) yang dimaksud itu berbentuk sumpah dan kedua bila berbentuk syarat mutlak. Bila berbentuk sumpah seperti perkataan,”Saya bersumpah akan mentalak isteri bila dia keluar rumah”, maka talak tidak jatuh bila dia mencabut sumpahnya dan membayar kaffarah (denda) atas sumpahnya.
Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tidak perlu membayar kaffarat. Sedangkan bila ta`liqnya berbentuk syarat mutlak seperti ucapan, ”Saya ceraikan isteri saya bila saya masuk rumah”, maka talaknya jatuh bila dia masuk rumah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Comments
Post a Comment