Skip to main content

Singkatnya usia menjadi ortu

Ingin berapa lama hidup dengan anak kita? 



Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org



Usia 20 thn-an, kita membentuk keluarga, menikah, punya anak, mendampingi masa balita hingga sekolah dasar.Oh Lucunya mereka....
Usia 30 thn-an, kita menemukan anak-anak ternyata sudah remaja, jatuh cinta, mulai banyak keluar rumah. Oh, Cantik dan gantengnya mereka....
Usia 40-an, mereka menggapai cita, kuliah, makin jauh dr orangtua, berasrama, kost, atau di rumah tapi mereka makin banyak keluar rumah.Allah, jaga mereka... 
Usia 50-an. Kita menemukan mereka semakin jauh dari kita, ingin mandiri, ingin membentuk keluarga sendiri.Lalu mereka hadirkan bayi lagi di pangkuan tangan kita yg mulai keriput.
Lalu kita berkata: "Ya Allah.... Betapa singkatnya hidup ini. Jangan jadikan kami termasuk orang yg sia-siakan kehidupan. Lindungi keluargaku, anak keturunanku dari siksa dunia dan akhirat."
Kalau begitu..Usia hidup kita tak berulang kan?
Kalau begitu usia anak kita pun tak berulang kan?
Kalau begitu sangat singkat kita mendampingi anak-anak kita kan?
Kalau begitu jangan pernah ridlo jika anak kita bisa mengenal huruf-huruf Al-Quran,
bisa membacanya, bisa mempelajarinya hasil dari tangan orang lain dari outsourcing orang lain 
Kalau begitu, cemburu rasanya jika anak kita hanya mau belajar sama guru di sekolahnya
tapi tak mau sama kita orangtuanya
Kalau begitu, harus tdk nyamanlah hati kita jika anak kita disuruh ngerjain PR dengan guru lesnya
bukan dgn kita orangtuanya
Kalau begitu, saat tubuh kita terbujur kaku jangan marah ya jika anak kita me-outsourcing-kan sholat jenazah hanya pada ustadz dan ustadzah, sedangkan mereka sendiri tak bisa bacaannya
Jika tidak, ayolah beri manfaat waktu kita sedikit saja untuk anak kita
Bukan sekadar uang jajanan atau Mainan semata. Itu semua penting
Tapi kesungguhan kita jadi orangtua akan memberikan dampak berbeda untuk anak-anak kita.
Diambil dari www.auladi.org

Comments

Popular posts from this blog

Pesan M. Natsir Untuk Para Guru

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

CTRL + Z

saya akan mengutip sebuah kata yang dipake tagline di buku Change-nya Rheinald Kasali. Dia bilang, “Sejauh apa pun kamu sudah melangkah, berbaliklah!”

Huruf Al-Quran Nggak Gundul Lagi

Jika kamu membaca Al-Qur'an asli yang diterbitkan pertama kali, yang disebut mushaf utsmani, dijamin seratus persen bakal pusing tujuh keliling. Masalahnya, huruf-hurf pada mushaf itu nggak disertai titik dan tanda baca atau harakat.  Kamu pasti akan kesulitan membedakan huruf ba yang memiliki satu titik dengan ta yang mempunyai dua titik. huruf sin dengan syin pun dijamin ketuker . Tidak hanya itu, mushaf itu juga nggak dibubuhi tanda fathah, kasrah, dan tanda lain, sehingga kamu akan kesulitan membaca vocal a,i, e, dan o.