Skip to main content

Kendala Komunikasi Orang tua dan anak


Bisakah Ayah dan Bunda mencapai kondisi bahwa menjadi orang tua itu amazing (menakjubkan)? Bisakah Ayah dan Bunda menikmati rasa amazing, menakjubkan dan menyenangkan saat mengasuh anak, tanpa perlu merasa kesal dan sakit kepala berkepanjangan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menceritakan dulu pengalaman saya dengan putri saya, ceuceu.

Suatu hari, ceuceu berkata kepada saya, "Bun, aku ingin pulang sekolah naik angkot, tidak mauk dijemput lagi."



Akibat berbagai masalah yang dialami ceuceu sejak kecil, saya memang bersikap agak protektif padanya. Karenanya, saya sangat khawatis jika membiarkan ceuceu naik angkot sendirian. Namun, saya berusaha meneguhkan hati. Saya izinkan ceuceu untuk naik angkot sendiri.

Sehari, dua hari, tiga hari, berjalan aman dan lancar. Ceuceu pulang tepat waktu dan kekhawatiran saya mulai berkurang. Namun di hari keempat, Ceuceu tidak pulang-pulang, padahal sudahpukul 14.30. Saya mulai panik. Apalagi, saat ini, Ceuceu belum saya izinkan  memiliki ponsel. Saya telepon teman-temannya, tidak ada yang tahu. Saya telepon sekolah, tidak ada yang mengangkat. Saya pun segera menyetir mobil sendiri ke sekolah Ceuceu.

"Sekolah sudah kosong Bu!" kata penjaga sekolah. Namun, saya tidakpeduli. Saya buka satu per satu pintu semua ruangan di sekolah Ceuceu. Padahal, sekolah itu mempunyai dua lantai dengan beberapa kelas. Tidak ada Ceuceu di sana.

Dengan hati galau, saya segera kembali menyetir mobil sambil mengikuti jalur angkot. Sepanjang jalan, saya menyetir sambil menoleh kiri-kanan, berharap ada Ceuceu di pinggir jalan. Sampai terminal, ceuceu tidak jua saya temukan. Saya punpulang dan menunggu di rumah dengan berlinangan air  mata,tidak tahu  lagi harus berbuat apa.

Tiba-tiba, terdengar langkah kaki didepan pintu. kreek...pintu terbuka. Saya segera berlari mendekat ke pintu, Ceuceu!

Ayah dan Bunda, kalau Ayah dan Bunda dalam posisi saya, apa yang akan Ayahdan Bunda ucapkan?

(a) Ayah dan Bunda akan berkatabegini (dengan nada tinggi) : "Ya ampun!  kamu ke mana aja, sih? Kalau mau pulang telat, bilang-bilang dong! huuuuuuh ... tau enggak, Bunda, tuh tadi sampai nyusul ke sekolah, bukain pintusatu-satu, ngikutin jalan angkot sampai terminal! Bunda, tuh kuatir, tauuu...kuatir!!! Kalaukamu diculik, gimana?! Udah,pokoknya, besok kamu enggak boleh naik angkot lagi!"

(b) Ayah dan Bunda akan berkata begini (dengan nada rendah): "Alhamdulillah....akhirnya kamu pulang, Nak. kamu baik-baik saja, 'kan? kenapa pulang terlambat? Bunda kuatiir...sekali, Gimana tadi kalau kamu diculik atau ketabrak mobil? Tadi Bunda mencarimu ke mana-mana. Lain kali, kalau mau pulang terlambat, beri tahu Bunda, ya?"

Perkataan (a) dan (b) intinya sama: Ayah dan Bunda  mengungkapkan kekhawatiran atas keselamatan anak. Rasa sayang Ayah dan Bunda telah membuat Ayah dan Bunda sangat panik ketika anak terlambat pulang. Namun, dengan kalimat (a), rasa sayang itu tidak akan ditangkap anak, Yang ditangkap anak hanyalah "Bunda marah!". Sebaliknya, dengan kalimat (b), anak bisa menangkap rasa sayang itu dan menyadari bahwa "saking sayangnya, Ayah dan Bunda akan khawatir bila aku pulang telat tanpa memberi kabar".

Betapa banyak dari Ayah dan Bunda yang mengomel, marah, atau mengkritik perilaku anak karena rasa sayang Ayah dan Bunda kepada anak. Namun, apakah rasa sayang itu ditangkap anak ataukah justru sebaliknya? yang ditangkap anak adalah, "Ayah dan Bundaku pemarah, cerewet, tukang kritik! Aku enggak pernah bener di mata mereka."

Ayah dan Bunda mungkin mengomel tiap hari hanya untuk menyuruh anak bangun tepat waktu agar anak tidak terlambat sekolah. Namun, mengapa anak tidak sadar-sadar juga? Setiap musim ulangan tiba, Ayah dan Bunda marah-marah saat menyuruh anak rajin belajar. Sebenarnya, tujuan Ayah dan Bunda baik, yaitu supaya anak mendapat nilai ulangan yang bagus. Namu, mengapa anak tidak juga berubah? mereka lebih suka menonton televisi daripada membaca buku.

Inilah yang saya maksud sebagai kendala komunikasi. Kita berkomunikasi untuk menyampaikan isi hati kita. Dengan tujuan, agar orang yang diajak berkomunikasi memahami maksud kita dan melakukan apa yang kita inginkan. Apabila, ternyata, apa yang kita sampaikan tidak ditangkap dengan baik oleh  pihak lain, berarti ada kesalahan dalam berkomunikasi.

---Bicara Bahasa Anak (Rani Razak Noe'man)


Comments

Popular posts from this blog

Pesan M. Natsir Untuk Para Guru

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

CTRL + Z

saya akan mengutip sebuah kata yang dipake tagline di buku Change-nya Rheinald Kasali. Dia bilang, “Sejauh apa pun kamu sudah melangkah, berbaliklah!”

Huruf Al-Quran Nggak Gundul Lagi

Jika kamu membaca Al-Qur'an asli yang diterbitkan pertama kali, yang disebut mushaf utsmani, dijamin seratus persen bakal pusing tujuh keliling. Masalahnya, huruf-hurf pada mushaf itu nggak disertai titik dan tanda baca atau harakat.  Kamu pasti akan kesulitan membedakan huruf ba yang memiliki satu titik dengan ta yang mempunyai dua titik. huruf sin dengan syin pun dijamin ketuker . Tidak hanya itu, mushaf itu juga nggak dibubuhi tanda fathah, kasrah, dan tanda lain, sehingga kamu akan kesulitan membaca vocal a,i, e, dan o.